Deyangan Gelar Forum Diskusi Potensi Wisata Desa

Jatengpress.com, Borobudur – Tata kelola Borobudur sebagai destinasi wisata mendapat sorotan dari pendiri Ruwat Rawat Borobudur, Sucoro alias Mbah Coro (72).

Menurut dia, pengelolaan Borobudur telah menciptakan tarik ulur yang rumit antara nilai spiritual dan kepentingan pariwisata. Pengembangan pariwisata Borobudur belum maksimal dalam melibatkan masyarakat.

“Gaungnya (Pariwisata) belum sampai ke Deyangan, padahal hanya (berjarak) dua kilometer dari Borobudur,” katanya, dalam forum diskusi bertajuk Jagongan Magelang di Balai Desa Deyangan, Mertoyudan, Magelang, Kamis (19/06).

Melalui forum itu, mBah Coro berharap agar para pemangku kepentingan bisa menyatukan pikiran untuk membangun sinergi antarwilayah. 

Sucoro menyebut, Deyangan memiliki potensi besar. Karena terdapat dusun-dusun seperti Pandean dan Pangenan, serta makam pendiri Pondok Pesantren Lirboyo yang dianggap memiliki kekuatan spiritual tinggi. 

“Ini bisa menjadi simbol harmonisasi spiritual antara Islam dan Buddha,” kata dia, dalam acara memperingati 23 tahun Ruwat Rawat Borobudur, Yayasan Brayat Panangkaran Borobudur yang digelar bersama Pemerintah Desa Deyangan.

Sucoro mengaku, sejak tahun 1980 telah mendokumentasikan proses transformasi Borobudur dan kini telah menerbitkan 12 buku. Sehingga dalam kegiatan kali ini, buku-buku tersebut dihibahkan kepada masyarakat sebagai bagian dari upaya membangun jaringan literasi antara Borobudur dan masyarakat Deyangan.

Kades Deyangan, Risyanto, menuturkan, forum ini menjadi kesempatan bagi desanya untuk menerima masukan dan menjalin kerjasama demi kemajuan daerah.

“Kita punya potensi wisata religi dan agrowisata. Jalan usaha tani kami punya pemandangan Sumbing, Merapi, dan Menoreh,” paparnya. 

Selain itu, keberadaan makam Mbah Abdul Rahim, leluhur pendiri Pondok Lirboyo, dinilai bisa meningkatkan daya tarik wisata dalam sektor religi.

Menurut Risyanto  selama ini Deyangan hanya merasakan dampak negatif pariwisata Borobudur berupa kemacetan, tanpa menikmati manfaat ekonominya.

“Borobudur itu pengaruhnya sampai ke sini, tapi kita cuma dapat macetnya. Lahan kami kok justru dimanfaatkan dari luar, padahal kami bagian dari ring satu,” ucapnya. 

Risyanto mengaku tengah merancang sejumlah program pengembangan, termasuk pembangunan rest area, kios desa, serta pelaksanaan acara tahunan Merti Desa sebagai bentuk syukur dan pelestarian budaya. 

“Saya punya rencana tahun depan bikin Merti Desa, nanti akan kita adakan di lahan yang sudah kita siapkan,” imbuh Risyanto. 

Risyanto optimis dalam membangun kerja sama dengan pihak luar untukķ Deyangan dengan menyediakan lahan seluas 2.000 meter persegi untuk pengembangan usaha koperasi dan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). 

“Kita sudah sampai ke tahap perusahaan kena pajak. Artinya sudah bisa mengelola sendiri tanpa harus pakai perusahaan luar,” tegasnya.

Forum itu menjadi ruang dialog untuk membangkitkan literasi dan menumbuhkan kecintaan masyarakat untuk mengembangkan acara tradisi serta potensi seni dan keindahan alam sebagai destinasi wisata khususnya di Kelurahan Deyangan. (TB)