Jatengpress.com, Kudus – Ribuan warga dari berbagai daerah memadati kawasan Menara Kudus pada Minggu (6/7) pagi untuk mengikuti tradisi Buka Luwur Kanjeng Sunan Kudus. Puncak tradisi yang sakral ini ditandai dengan pembagian sekitar 36 ribu bungkus Nasi Jangkrik kepada masyarakat.
Antusiasme masyarakat sangat tinggi. Sejak pukul 03.00 dini hari, ribuan orang sudah memadati kawasan Menara Kudus. Mereka rela bermalam di emperan toko, bahkan dalam kondisi hujan demi memperoleh Nasi Jangkrik, nasi khas berbungkus daun jati yang dipercaya membawa berkah dari Kanjeng Sunan Kudus.
Nasi Jangkrik merupakan simbol sedekah dan berkah dalam tradisi Buka Luwur. Nama “jangkrik” sendiri berasal dari kata dalam bahasa Jawa kuno yang berarti berpadu dalam berkah. Nasi ini dibungkus daun jati dan diisi nasi putih serta daging kerbau yang menjadikannya sajian sederhana namun sarat makna spiritual.
Dahulu, nasi ini hanya dibagikan kepada para ulama dan tokoh masyarakat, namun kini dibagikan secara massal kepada warga sebagai bentuk sedekah dan amal jariyah.
“Saya datang sejak jam tiga pagi, tidur di emperan toko. Alhamdulillah bisa dapat satu bungkus. Ini tradisi yang selalu saya nantikan,” ujar Ulyatun, warga Kudus.
Sementara itu Arina, warga Jepara, mengaku rutin datang setiap tahun karena percaya akan berkah Nasi Jangkrik. “Langsung saya makan di tempat bersama teman-teman. Ini bukan sekadar nasi, tapi simbol ngalap berkah dari Mbah Sunan Kudus,” ungkapnya.
Menurut Humas Yayasan Masjid, Menara, dan Makam Sunan Kudus (YM3SK) Denny Nur Hakim, sebanyak 70 kambing dan 19 kerbau disembelih untuk diolah menjadi Nasi Jangkrik dan Uyah Asem. Total beras yang dimasak mencapai 9,1 ton.
“Ada dua jenis masakan: Nasi Jangkrik, yaitu nasi berkuah yang dibagikan ke tokoh dan ulama; serta Nasi Uyah Asem tanpa kuah yang dibagikan ke masyarakat umum,” jelas Denny.
Pendistribusian dimulai sejak pukul 06.00 Wib. Masyarakat bisa mendapatkan nasi dengan antre langsung atau menukarkan kupon sedekah yang telah disiapkan panitia.
Tradisi Buka Luwur ini bukan hanya menjadi ajang ritual tahunan, melainkan juga wujud kearifan lokal yang menguatkan nilai kebersamaan, gotong royong, dan spiritualitas masyarakat Kudus. (*)