JATENGPRESS,SEMARANG – Puluhan orang yang menamakan diri Aliansi Semarang Menggugat menggelar aksi unjuk rasa di bundaran Air Mancur Jalan Pahlawan, Kamis (22/8) pagi.
Dipimpin koordinator aksi, Rahmulyo Adiwibowo yang juga politisi PDI Perjuangan, mereka menyatakan demokrasi menjadi mati karena putusan Mahkamah Konstitusi diterjang dan diinjak-injak oleh kekuatan-kekuatan yang melawan konstitusi.
Aksi demo ini dinyatakan untuk mengawal putusan Mahkamah Konstritusi (MK) soal ambang batas pencalonan di Pilkada Serentak 2024. Demo dilakukan usai Badan Legislasi (Baleg) DPR tidak mengikuti putusan MK.
Sebelumnya, ambang batas pencalonan Pilkada berubah menjadi lebih kecil setelah MK memutuskan mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, dengan batas minimal calon kepala daerah adalah 30 tahun.
Keputusan ini memberikan harapan baru dalam pencalonan gubernur. Dengan perubahan ini, lebih banyak partai politik dapat mengusung calon gubernur dengan modal suara yang lebih rendah.
Putusan MK ini juga membuka peluang bagi tokoh-tokoh baru dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta.
Namun, sehari usai putusan, DPR dan pemerintah langsung menggelar rapat untuk membahas revisi UU Pilkada, dengan batas minimal usia calon kepala daerah adalah 25 tahun.
Dalam aksi di bundaran Jalan Pahlawan Semarang yang dimulai jam 10.00 pagi, Aliansi Semarang Menggugat membawa keranda dan tabur bunga simbol matinya demokrasi, serta empat mobil ambulance, peserta aksi juga meneriakkan harus diakhirinya politik dinasti. Karena politik dinasti juga mematikan demokrasi.
“Kita pagi hari ini datang bersama kelompok masyarakat yang peduli terhadap konstitusi negara ini, kita meggugat agar putusan MK tetap dipertahankan. Kita kawal putusan MK. Putusan MK menjadi ruh bagi kami.
Putusan MK bersifat final dan mengikat, diputuskan untuk meluruskan konstitusi di negeri ini,” papar Rahmulyo di tengah-tengah aksi.
Ia kecewa karena putusan MK diotak-atik dan ditafsirkan lain justru oleh wakil rakyat di DPR RI.
“Apa jadinya jika mahkamah konstitusi yang final diotak-atik dan ditafsirkan lain. Maka jika ini terjadi maka demokrasi di Indonesia sudah mati.
Kami sedih dan kecewa dengan pola permainan di Jakarta. Kita diamputasi dan ditelanjangi seperti ini. Maka kami datang disini untuk mengawal putusan MK,” kata Rahmulyo yang juga anggota DPRD Kota Semarang.
Aksi demo ini dinyatakan untuk mengawal putusan Mahkamah Konstritusi (MK) soal ambang batas pencalonan di Pilkada Serentak 2024. Demo dilakukan usai Badan Legislasi (Baleg) DPR tidak mengikuti putusan MK.
Sebelumnya, ambang batas pencalonan Pilkada berubah menjadi lebih kecil setelah MK memutuskan mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, dengan batas minimal calon kepala daerah adalah 30 tahun.
Keputusan ini memberikan harapan baru dalam pencalonan gubernur. Dengan perubahan ini, lebih banyak partai politik dapat mengusung calon gubernur dengan modal suara yang lebih rendah.
Putusan MK ini juga membuka peluang bagi tokoh-tokoh baru dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta.
Namun, sehari usai putusan, DPR dan pemerintah langsung menggelar rapat untuk membahas revisi UU Pilkada, dengan batas minimal usia calon kepala daerah adalah 25 tahun. (Cip)