JATENGPRESS, BANJARNEGARA – Wajah Kais Firmanulloh (16) selalu tertunduk. Kais adalah salah satu anak yang terdeteksi sebagai anak putus sekolah (ATS) di desa Pucungbedug Kecamatan Purwanegara, Kabupaten Banjarnegara.
“Saya sudah malas untuk sekolah, mending kerja saja,” ujarnya yang sudah putus sekolah sejak kelas I SMP. Kini ia membantu orangtuanya bekerja serabutan.
Tak jauh beda, dialami Alfin Januar, juga warga Desa Pucungbedug yang terpaksa putus sekolah karena faktor ekonomi dan memilih tinggal di rumah. Hanya saja, Alfin masih memilki keinginan untuk menekuni dunia perbengkelan.
Fenomena seperti ini jamak mengemuka saat dilakukan pantauan lapangan oleh Pemkab Banjarnegara terus menggalakkan “Gerakan Mayuh Sekolah Maning”. Selama bulan Juli ini, tim dari sejumlah Dinas mulai dari Dindikpora, Dinsos PPPA, Baperlitbang, camat dan kepala desa getol menyambangi beberapa desa dengan angka ATS tinggi, yakni Desa Bandingan Kecamatan Rakit serta Desa Mertasari, Pucungbedug dan Petir, yang ketiganya ada di Kecamatan Purwanegara.
Tak tanggung-tanggung, kunjungan tersebut juga dipantau langsung oleh oleh Education consultant Unicef Jawa-Bali, Dr. Jasman Indradno, M.Si (E) serta Allan Raya selaku Koordinator Program P-ATS Jawa Tengah. Selain memberikan edukasi dan pengarahan kepada anak, tim juga memberikan edukasi kepada orang tua anak agar ikut mendorong anak untuk kembali bersekolah.
Pada kesempatan itu, Education consultant Unicef Jawa-Bali, Dr. Jasman Indradno, mengingatkan, peran orang tua sangat penting dalam mendukung pendidikan anak-anak mereka. Dukungan finansial dan emosional sangat penting untuk memotivasi anak-anak untuk tetap di sekolah. Menurut Jasman, kasus anak putus sekolah kerap terjadi terutama di desa. Biasanya karena dahulu orang tuanya tidak sekolah maka anaknya jadi ikut tidak bersekolah.
“Biasanya kalau orang desa, apalagi orang tuanya mampu maka akan menganggap remeh sekolah, bahkan menganggap sekolah tidak perlu, nah mata rantai ini yang harus kita putus, kasihan masa depan anaknya kalau sampai mereka tidak bersekolah, padahal menurut riset anak berpendidikan lebih punya besar meraih cita-citanya,“ kata Jasman
Jasman menambahkan, peran orang tua dalam memberikan motifasi sangat menentukan bagi anak-anak yang putus sekolah, karena dialah orang terdekat dengan anak.
“Jadi ini memang menjadi faktor budaya anak anak tidak mau sekolah, karena rata-rata Pendidikan orang tua disini rendah sehingga kurang memotifasi anak untuk sekolah,” imbuhnya.
Orang tua, lanjut Jasman lagi, juga mempunyai kewajiban yang utama dan pertama untuk anak, orang tua dalam konteks mendidikan anak itu tidak harus sains ,tidak harus membaca menulis dan berhitung, namun lebih kepada pendidikan karakter anak harus punya semangat,motivasi dan cita-cita sehingga anak menjadi senang bersekolah.
“Jadi kalau anak yang tidak seneng bersekolah, saya menjadi heran, ini pasti ada yang salah dalam pendidikan keluarga, karena seharusnya anak usia usia sekolah yakni 9, 12 dan 15 tahun bangga sekali bersekolah, tapi kalau anak tidak berminat ini yang menjadi persoalan, kemungkinan adanya kurang komunikasi dalam keluarga,” ungkapnya kepada Jatengpress.
Sekretaris Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga (Dindikpora) Banjarnegara, Noviyanto, mengatakan, saat ini tercatat ada 5729 anak tidak sekolah yang tersebar di 20 kecamatan. Alasan mereka beragam, mulai dari faktor ekonomi (terkendala biaya), si anak yang lebih suka mondok, ada yang telah bekerja hingga enggan kembali ke bangku sekolah, keluarganya broken home, hingga sudah tunangan bahkan menikah.
Berdasarkan data Dindikpora, di Desa Pucung Bedug, terdapat 34 anak putus sekolah, sementara di Desa Petir terdapat 130 anak putus sekolah karena berbagai faktor, seperti faktor ekonomi, karena di bully, menikah atau karena memang sudah malas untuk bersekolah.
“Alhamdulillah dari beberapa anak yang kita kunjungi sebagai sempel, ada 6 anak yang bersedia untuk melanjutkan sekolah, namun ada 1 anak yang tidak mau sekolah dan memilih untuk menekuni kerja,” kata Noviyanto, Jumat (26/7/2024).
Menurut Noviyanto, anak-anak yang sudah tidak bersekolah di SD dan usianya sudah terlanjur sudah usia SMP namun belum lulus SD, maka jalan keluarnya adalah dia harus belajar melalui program Kejar Paket PKBM atau di SKB.
“Disini pemerintah daerah sudah memfasilitasi. Tinggal dari masyarakat, orang tua dan anak yang mau lanjut sekolah melaporkan ke perangkat desa, nanti dari perangkat yang membantu mengurus agar bisa sekolah lagi melalui PKBM,” katanya.
Lebih lanjut ia meminta kepada pihak sekolah atau madrasah agar tidak buru-buru mengeluarkan anak dari sekolah, karena semua anak berhak mendapatkan pendidikan.
“Jadi kalau seandainya ada anak nakal, itu menjadi tugas sekolah bagaimana caranya agar anak yang nakal menjadi tidak nakal, jadi bukan berarti guru hanya mendidik anak yang mau belajar, namun juga mendidik adar anak yang berperilaku nakal,” pesannya. (mjp)