Jatengpress.com, Semarang – Di Jawa Tengah, pembangunan tak lagi lahir semata dari ruang rapat birokrasi. Sepanjang 2025, gagasan-gagasan akademik turun langsung ke desa, pesisir, dan wilayah rawan bencana. Melalui kolaborasi dengan 44 perguruan tinggi, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah membuka babak baru pembangunan. Lebih ilmiah, lebih efisien, dan lebih dekat dengan kebutuhan warga.
Bukan lagi sekadar wacana kolaborasi. Sepanjang 2025, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melibatkan 44 perguruan tinggi negeri dan swasta untuk mengawal langsung program-program strategis gubernur. Dari desa pesisir hingga wilayah rawan bencana, kampus hadir membawa kajian akademik, tenaga ahli, dan mahasiswa ke jantung pembangunan daerah.
Inilah wajah baru pembangunan Jawa Tengah pada 2025: kampus turun tangan, pemerintah berbagi peran. Di bawah kepemimpinan Gubernur Ahmad Luthfi dan Wakil Gubernur Taj Yasin Maimoen, kolaborasi tidak lagi sekadar jargon. Sebanyak 44 perguruan tinggi negeri dan swasta dilibatkan secara aktif untuk mengawal dan menuntaskan program-program prioritas daerah. Kerja sama itu dirajut dalam satu wadah bernama Forum Rektor. Sebuah ruang temu antara kebijakan publik dan nalar akademik.
Tak lama setelah dilantik, tepat 14 Maret 2025, Ahmad Luthfi dan Gus Yasin menandai babak baru itu dengan menandatangani nota kesepahaman bersama 44 rektor dan direktur perguruan tinggi. Hanya 22 hari setelah pelantikan, kerja kolaboratif lintas sektor langsung bergerak.
“Setiap kampus diberi program berbeda sesuai karakter dan keunggulannya,” ujar Kepala Biro Pemerintahan, Otonomi Daerah, dan Kerja Sama Pemprov Jateng, Yasip Khasani, Minggu, 28 Desember 2025. Beban pemerintah menjadi lebih ringan. Sementara kebijakan menjadi lebih tepat sasaran, karena disusun dari kajian, diuji di lapangan, dan dievaluasi bersama.
Hasilnya mulai terasa. Sepanjang 2025, kampus-kampus tersebut telah terlibat aktif dalam 29 program gubernur. Dinas Perumahan, misalnya, menggandeng 15 universitas melalui KKN Tematik untuk mengawasi program RTLH. Mahasiswa turun langsung memverifikasi kondisi rumah warga miskin, memastikan bantuan tidak salah alamat.
Di sektor kesehatan, perguruan tinggi swasta membantu Dinas Kesehatan menyosialisasikan sensus kesehatan dan program Speling. Sementara di wilayah rawan bencana, BPBD bekerja sama dengan 24 perguruan tinggi untuk mitigasi dan penanganan bencana. Menggabungkan peta risiko, kajian ilmiah, dan kesiapsiagaan masyarakat.
Kolaborasi ini, menurut Yasip, baru permulaan. Ke depan, targetnya bukan hanya 29, melainkan seluruh 136 program kerja Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah periode 2025-2030. Pada 2026, giliran 72 perguruan tinggi swasta lain yang akan menyusul bergabung.
“Harapan kami, kerja sama ini juga ditiru pemerintah kabupaten dan kota. Supaya strategi pembangunan sejalan, dan kampus benar-benar menjadi mitra daerah,” ujarnya.
Bagi Wakil Ketua Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TPPD) Jawa Tengah, Dr Wahid Abdulrahman, langkah ini bukan sekadar inovasi administratif, melainkan sejarah baru dalam tata kelola pemerintahan daerah. Setiap kampus diberi keleluasaan memilih program sesuai potensi, wilayah, dan keahliannya. Menciptakan hubungan yang saling menguntungkan.
Beberapa program unggulan lahir dari skema ini. Universitas Diponegoro (Undip), misalnya, mengembangkan program desalinasi untuk mengolah air payau menjadi air siap minum bagi masyarakat pesisir. Di Kudus, mahasiswa KKN dilibatkan dalam pengawasan RTLH yang diluncurkan langsung Gubernur Ahmad Luthfi. Penanganan stunting, cek kesehatan gratis, hingga pelayanan Speling dijalankan bersama sejumlah kampus.
“Manfaatnya besar. Pemerintah Provinsi Jateng dengan masing-masing perguruan tinggi sudah memiliki tujuan saling memberikan kemanfaatan,” kata Wahid.
Menurutnya, Pemprov mendapat keuntungan besar, yakni dukungan tenaga ahli dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi kebijakan. Selain itu, program bisa dipetakan berdasarkan wilayah dan kompetensi kampus. Masalah stunting di Banyumas, misalnya, ditangani Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed). Persoalan Wonogiri dan Sragen diserahkan ke Universitas Sebelas Maret (UNS). Di tengah keterbatasan anggaran, kolaborasi ini menjadi solusi yang efisien.
Gus Yasin menegaskan, kerja sama dengan kampus bukan formalitas MoU belaka. Yang dibangun adalah kerja tematik untuk mengawal pembangunan desa, pertanian, UMKM, kesehatan, hingga air bersih. “Tahun 2025 kita gandeng 44 kampus. Tahun berikutnya, semua perguruan tinggi di Jawa Tengah akan kita libatkan,” katanya.
Langkah ini bahkan mendapat apresiasi dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Menurutnya, kolaborasi pemerintah daerah dan kampus adalah cara cerdas memastikan kebijakan publik tidak lahir dari intuisi semata.
“Ini good idea, good move. Kenapa? Supaya kalau kita bikin kebijakan itu bukan feeling-feeling-an, tapi benar-benar berdasarkan studi,” ujar Tito dalam forum nasional di Semarang.
Di Jawa Tengah, pembangunan kini tak lagi berdiri sendiri di balik meja birokrasi. Ia hidup di ruang kelas, laboratorium, dan desa-desa. Ketika kampus turun tangan, kebijakan pun menemukan pijakan ilmiahnya. Lebih akademik, lebih efisien, dan lebih membumi. Pembangunan tak lagi sekadar deretan program, melainkan jejak pengetahuan yang menyentuh kehidupan warga. Ia meninggalkan arah yang lebih jelas bagi masa depan. (*)







