Jatengpress.com, Magelang – Tokoh Adat Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Kota Sawahlunto menyambangi komunitas pelaku seni budaya Ruwat Rawat Borobudur (RRB) di Kantor CWS BRIN Kabupaten Magelang.
Bersama Datuak dan Bunda Kanduang LKKAM ada Asisten Pemerintahan dan Kesra Pemerintahan Sawah Lunto, Irzam K, untuk studi komparasi terkait pengelolaan Cagar Budaya world heritage yang diakui Unesco agar memberikan dampak bagi masyarakat.
“Mereka punya Cagar Budaya Tambang Ombilin seperti Borobudur yang oleh Unesco dinobatkan sebagai Warisan Budaya Dunia. Namun mereka belum memperoleh kemanfaatan dari Cagar Budaya Tambang Ombilin,” kata Sucoro, Budayawan penggerak Ruwat Rawat Borobudur, Minggu (22/12).
Borobudur maupun Tambang Ombilin Sawah Lunto, menurut Sucoro, adalah Cagar Budaya yang ada masyarakatnya. Karena keberadaan cagar budaya tidak bisa dipisahkan dari panorama tatanan kehidupan masyarakat, sebagai identitas yang tetap lestari karena masyarakatnya.
Sehingga, cagar budaya diharapkan bisa memberikan kemanfaatan bagi masyarakat dan melibatkannya dalam upaya pengembangannya.
Borobudur maupun Tambang Ombilin dinobatkan sebagai warisan budaya dunia karena sejarah dan keunikan yang tidak dimiliki daerah lain maupun internasional. Yakni, nilai spiritualitas outstanding universal value (OUV) yang terdapat pada bangunan, alam, budaya dan peradaban masyarakatnya yang diwariskan dari generasi ke generasi
“Masyarakat Borobubur berbudaya Jawa sedangkan masyarakat Tambang Ombilin Sawah Lunto berbudaya Melayu Minang. Masyarakat keduanya punya rasa handarbeni dan sense belonging terhadap world heritage yang ada di lingkungannya,” jelas Sucoro.
Sementara itu, Peneliti Masyarakat dan Budaya BRIN, Novita Siswayanti, berpendapat Unesco menganugerahi cagar budaya sebagai world heritage salah satunya karena nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat dan terlestari pada kehidupan masyarakatnya.
Unesco memberikan catatan dan konsekuensi bagi kelestarian cagar budaya serta kemanfaatannya bagi masyarakat. Keberadaan cagar budaya tidak bisa terlepas dari budaya dan nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat pada interaksi sosial budaya masyarakatnya.
Sebab itu, pengembangan cagar budaya tidak boleh dipisahkan dari partisipasi dan keterlibatan masyarakatnya yang menjadi subjek bagi keberlangsungan cagar budaya.
“Pemanfaatan cagar budaya menyatu dengan tradisi dan budaya masyarakat yang berperan penting bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat,” tutur Novita, ditemui terpisah.
Novita mencatat, Borobudur maupun Tambang Ombilin Sawah Lunto sebagai cagar budaya yang pemanfaatannya tdiatur dan ditentukan dalam UU Cagar Budaya Nomor 10 Tahun 2011.
Kedua cagar budaya itu berfungsi untuk pendidikan, keagamaan, sosial, budaya maupun ekonomi bagi masyarakatnya. Secara keagamaan, fungsi Borobudur sebagai tempat peribadatan, meditasi, kontemplasi yang universal tidak hanya bagi Buddha maupun seluruh umat beragama.
Novita mengatakan secara sosial budaya masyarakat keduanya berpegang teguh pada budaya leluhur yang didasarkan pada persaudaraan atau pasedhuluran. Masyarakat Borobudur yang multikultural dan pluralisme penuh toleransi dan inklusif. Walau Candi Borobudur simbol agama Budha yang masyarakatnya muslim dan tidak ada satu pun yang beragama Budha, tetapi masyarakatnya handarbeni dan turut menjaga kelestarian Borobudur sebagai warisan budaya.
Secara sosial budaya, masyarakat Tambang Ombilin Sawah Lunto berpegang teguh dengan adat Melayu Minang. Adat Melayu muslim dengan berpedoman pada Adat basandi syarak dan syarak basandi Kitabullah.
“Secara pendidikan Tambang Ombilin memberikan pengetahuan akan ilmu pertambangan dan kemanfaatannya bagi umat manusia,” ujarnya.
Keberadaan tambang Ombilin, daerah tambang batu bara ditemukan Willem Hendrik De Greve tahun 1868 pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda. Tambang Ombilin titik nadir adanya rel dan jalur perkeretaapian di Sumatera Barat. Dia terkenal karena keberadaan masyarakatnya yang unik dan khas.
Menurut Novita, eksistensi Borobudur dan tambang Ombilin amat bergantung pada peran serta masyarakat. Kedua cagar budaya ini memiliki corak dan karakter yang didukung dan dikuatkan oleh budaya dan tradisi masyarakatnya.
Pemanfaataan cagar budaya Borobudur dan Tambang Ombilin Sawah Lunto akan menjadi daya tarik yang kuatbjika mempertunjukkan budaya masyarakat yang sarat dengan nilai kearifan lokal.
Maka dari itu, Novita menekankan, upaya pengembangan cagar budaya Borobudur dan Tambang Ombilin akan maju jika masyarakatnya diberi peran dan kesempatan terlibat secara aktif dalam berbagai kegiatan.
“Pengembangan cagar budaya diisi dengan berbagai kegiatan festival budaya, pentas kesenian, pasar budaya atau pasar seni, dan masyarakat sebagai subjeknya sebab mereka sumber dari segala sumber budaya atas keberadaan cagar budaya. Cagar Budaya Milik, Dari, Oleh dan Untuk Masyarakat,” harapnya. (*)