Jatengpress.com, Semarang – Di tengah perkembangan modernitas berbagai segi kehidupan, serta kepadatan wilayah yang membuat terkikisnya lahan rerumputan oleh pembangunan, ternyata masih ada peternak sapi perah di Kota Semarang.
Adalah sekumpulan peternak sapi perah di Kelurahan Nongkosawit, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, yang masih bergelut dengan asa untuk menghasilkan susu, guna dipasarkan di kota ini.
Alaik Habibi Mustaqim, salah seorang peternak sapi perah di Nongkosawit, Gunungpati mengungkapkan, beternak sapi perah untuk diambil susunya, hanya sekadar kecil-kecilan saja. Maka dia tidak menyetor susunya ke koperasi susu, melainkan cukup untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan pedagang yang kulakan. Saat ini dia memiliki 11 ekor sapi, terdiri 8 sapi dewasa dan 3 anakan (pedhet) yang termuda baru berusia dua bulan.
Dalam sehari, setiap satu ekor sapi bisa diambil 10 sampai 15 liter, tergantung kondisi sapinya.
“Kalau sapi yang baru melahirkan bisa diambil sampai 15 atau 17 liter. Sedangkan sapi hamil, hasil susunya lebih sedikit, paling sekitar 10 liter. Pagi misalnya diambil 7 liter, sore sekitar sehabis Ashar diambil 5 liter. Hasil susu pagi dan sore beda. Kalau pagi, bisa diperah lebih banyak karena sapi telah memiliki waktu istirahat lebih panjang yaitu semaleman. Sedangkan kalau sore, produksi yang bisa diperah lebih sedikit,” papar Alaik, di kandang sapi miliknya, Selasa (12/11) sore.
Saat ini, dari delapan sapi dewasa yang dia ternak, tidak termasuk tiga ekor anakan, bisa diperas sebanyak lima ekor. Dalam sehari dia bisa memperoleh susu hasil perahan berkisar 50 sampai 55 liter dari hasil perahan lima ekor sapi tersebut.
Hasil perahan ini separohnya dia pasarkan sendiri ke konsumen langsung dengan harga Rp 10.000 per liter. Separoh lainnya dia jual ke pedagang susu dengan harga di bawah harga konsumen langsung. Oleh para pedagang tersebut susu yang dibeli dari Alaik dibuat yoghurt, ada juga yang dijual lagi ke konsumen rumahan berupa susu segar.
Untuk pakan sapi perah yang dia pelihara, Alaik mencari berbagai jenis rumput di seputaran Nongkosawit, Pongangan, dan sekitarnya, tergantung wilayah mana yang sedang banyak rumput. Utamanya adalah rumput gajah, selain juga ilalang dan tanaman perdu.
Karena volume produksi susunya hanya sedikit dan dipasarkan langsung ke konsumen serta pedagang, maka dia tidak merasakan dampak seperti peternak sapi susu di Boyolali, yang kecewa karena susu hasil ternak sapinya tidak terserap oleh pabrik, akibat gempuran susu impor. Namun Alaik mengaku berempati terhadap permasalahan yang dialami oleh sesama peternak sapi perah di Boyolali.
“Maka saya tidak merasakan kesulitan seperti yang dialami oleh teman-teman peternak susu di Boyolali. Meski tidak merasakan, tapi saya juga merasa kasihan dan merasa sedih juga kalau susu mereka sampai tidak terserap oleh koperasi dan oleh pabrik,” kata Alaik.
Meski dengan produksi terbatas, namun Alaik mengaku dia dan teman-teman sesama peternak sapi perah di Nongkosawit, masih berkeinginan untuk tetap menjalani profesi tersebut. (Cip)