Jatengpress.com, Sukoharjo-Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut pidana 2 tahun 3 bulan penjara kepada Zaenal Mustofa yang merupakan terdakwa kasus pemalsuan dokumen kuliah dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Sukoharjo pada Rabu (28/8/2025). Tuntutan ini menuai kekecewaan saksi pelapor, Asri Purwati.
Dalam tuntutan JPU disebutkan, terdakwa yang berprofesi advokat melakukan tindak pidana dengan sengaja memakai surat palsu sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP. JPU juga menuntut Zaenal membayar biaya perkara Rp 2.500.
Terhadap terdakwa yang merupakan mantan anggota tim penggugat ijazah Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) ini, jaksa juga mempertimbangkan hal yang meringankan dan memberatkan selama menjalani proses persidangan.
“Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa merugikan orang lain. Terdakwa yang berprofesi sebagai advokat justru menciderai profesi terdakwa sendiri,” urai JPU.
Untuk hal yang meringankan, terdakwa mengikuti persidangan dengan tertib dan terdakwa mempunyai tanggungan istri dan anak.
Menanggapi tuntutan dari JPU tersebut, terdakwa Zaenal melalui Penasihat Hukumnya, Zainal Abidin menyatakan sangat keberatan atas tuntutan JPU. Hal itu akan disampaikan melalui nota pembelaan (Pledoi).
“Yang jelas, kami keberatan atas tuntutan dua tahun, tiga bulan. Karena berdasarkan fakta persidangan tidak sejauh seperti ini,” kata Zainal.
Terpisah, saksi pelapor Asri Purwanti, juga menyatakan kecewa atas tuntutan JPU. Ia menegaskan bahwa terdakwa layak untuk dituntut hukuman maksimal yakni enam tahun kurungan penjara.
“Ancamannya kan enam tahun. Terdakwa ini sudah menggunakan dokumen palsu untuk menjadi sarjana hukum dan kemudian menjadi lawyer (advokat-Red). Selama terdakwa menjadi lawyer sudah menangani banyak perkara.
Menurut Asri, sesuai yang terungkap dalam fakta persidangan, banyak ditemukan dokumen yang diduga dipalsu oleh terdakwa. Hal itu dibuktikan dengan keterangan sejumlah saksi diantaranya dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), mantan dekan Fakultas Hukum (FH) UMS, serta Universitas Surakarta (UNSA).
“Dari keterangan para saksi, semua terungkap bahwa terdakwa ini benar-benar bukan mahasiswa dari Fakultas Hukum UMS. Namun terdakwa bisa kuliah sebagai mahasiswa transfer di FH UNSA dengan memakai NIM (Nomor Induk Mahasiswa) UMS, transkrip nilai dari FH UMS, yang semua dipalsukan,” beber Asri.
Disebutkan, terdakwa Zaenal terdaftar sebagai mahasiswa pindahan dari FH UMS ke FH UNSA pada pertengahan tahun 2008, dan dinyatakan lulus mendapat ijazah dari FH UNSA pada tahun 2009. Artinya, terdakwa Zaenal mendapat gelar SH hanya menempuh kuliah selama dua semester.
“Dalam fakta persidangan, terdakwa ini masuk di UNSA pertengahan 2008. Anehnya, saat ditanya oleh hakim terkait nilai yang digunakan, terdakwa ini tidak bisa menjawab,” ujarnya.
Atas fakta-fakta yang terungkap selama persidangan, Asri pun berharap kepada majelis hakim mempertimbangkan faktor-faktor yang merugikan lembaga pendidikan tinggi dan masyarakat selama terdakwa menjadi advokat.
“Banyak yang menjadi korban atas kelakuan terdakwa pada saat menggunakan gelar SH dengan profesinya sebagai lawyer. Salah satu korbannya adalah klien saya yang diduga diperas oleh terdakwa ini. Kasusnya sendiri sudah kami laporkan ke Polres Sukoharjo,” pungkasnya. (Abdul Alim)