Tekan Pengangguran Terbuka di Solo, Pengamat : Ternyata Solo Belum Punya BLK

Jatengpress.com, Solo-Pemerintah Kota Surakarta didesak membuka balai latihan kerja (BLK) di tiap kecamatan untuk memudahkan masyarakat mengakses layanannya. Cara ini juga potensial menekan angka pengangguran terbuka.

Hal itu diusulkan tokoh masyarakat Solo, BRM DR Kusumo Putro SH MH, Kamis (20/2/2025). Ia mengaku prihatin atas tingginya angka pengangguran terbuka di Solo. Sedianya dengan hadirnya BLK, maka para lulusan maupun angkatan kerja dapat mengenyam pendidikan di sana untuk persiapan terjun di lingkungan kerja atau malah membuka lapangan kerja baru.

“Lulusan BLK yang sudah berkeahlian, bisa ke perusahaan atau usaha sendiri. Contoh membuat roti, bisa buka lapak di pinggir jalan atau jualan online. Maka program latihan kerja harus diperbanyak,” urai dia.

Kusumo juga mengusulkan pemberian modal usaha bagi para alumni BLK yang telah dibekali keterampilan supaya bersemangat memulai bisnis. Ia menyebut besaran modal dipersilakan sesuai kemampuan keuangan pemerintah. Namun idealnya Rp5 juta per orang.

“Latihan kerjanya harus dari mentor bersertifikasi. Lalu hasil pelatihannya perlu diberikan sertifikat pula. Program ini bagi mereka yang benar-benar ingin belajar dan bertekad kuat dalam meningkatkan perekonomiannya,” katanya.

Kusumo mengakui pembangunan BLK dan program pelatihan keterampilan tersebut merupakan investasi jangka menengah. Artinya butuh waktu untuk merasakan dampak positif program itu. Tapi dia optimistis program itu dapat berhasil menekan angka pengangguran bila diterapkan di Solo.

Selama ini BLK di Solo merupakan milik Pemprov Jawa Tengah. Diharapkan dengan BLK milik Pemkot Surakarta yang dibangun di tiap kecamatan, warga Solo memiliki kesempatan lebih besar mengenyam pendidikan latihan kerja di sana. Pembukaan kelas latihan kerja juga lebih banyak untuk warga Solo.

Sebelumnya, Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Solo mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) selama 2024 di Kota Solo mengalami kenaikan sebesar 0,03 persen. Maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga tutupnya sejumlah perusahaan tekstil ditengarai jadi sebabnya. (Abdul Alim)