Oleh : Nyoman Widiasa
Guru Besar Fakultas Teknik Undip
SAAT ini, banyak negara memandang keamanan air memegang peran penting terhadap keamanan negara karena air sangat vital bagi kesehatan, gizi, kesejahteraan, dan pertumbuhan ekonomi. Keamanan air juga menjadi pilar penting terhadap ketahanan pangan dan energi, dan bahkan keamanan sosial jangka panjang.
Pada tahun, jumlah penduduk Indonesia yang terlayani air minum dari jaringan perpipaan hanya sekitar 20,69%. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mendorong terwujudnya pencapaian target SDG-6, khususnya akses air minum dan sanitasi aman pada tahun 2030.
Salah satu isu dan tantangan besar yang dihadapi oleh sektor air minum di Indonesia adalah perubahan iklim. Target layanan air minum di Indonesia adalah mencapai akses universal terhadap air minum yang aman dan terjangkau bagi seluruh penduduk pada tahun 2030.
Air minum aman adalah air yang memenuhi persyaratan kualitas sehingga aman untuk dikonsumsi dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan.
Target 100% layanan air minum mencakup 4 aspek: kualitas, kuantitas, kontinuitas, dan aksesibilitas/keterjangkauan.
Dalam konteks Jawa Tengah tantangan tersebut semakin nyata khususnya diwilayah pesisir pantai mulai dari Kabupaten Brebes hingga Rembang di wilayah utara dan di wilayah selatan dari Cilacap hingga Purworejo.
Berbagai persoalan mulai dari ketersediaan air bersih, banjir dan rob yang semuanya memiliki korelasi langsung dengan kemiskinan. Terlebih terhadap persoalan lingkungan hidup.
Dari berbagai persoalan tersebut, maka desalinasi air menjadi salah satu solusi.
Melalui desalinasi air yang merubah air payau menjadi siap minum diharapkan akan menyelesaikan sejumlah persoalan. Desalinasi air menyediakan air siap minum dengan standarisasi mutu terjaga sehingga diharapkan akan memberikan berbagai manfaat khususnya untuk masyarakat miskin di wilayah pesisir.
Desalinasi akan mengurangi beban ekonomi masyarakat karena harga yang lebih murah. Disaat yang sama juga memberikan air berkualitas sehingga mampu menjadi bagian dari upaya penanganan stunting.
Selain itu tentu diharapkan menjadi bagian dari upaya pemecahan persoalan lingkungan khususnya berkaitan dengan rob dan penurunan muka tanah. Desalinasi dapat memanfaatkan sumber air dari air rob untuk dijadikan air siap minum.
Dalam perspektif pemberdayaan, desalinasi juga menjadi salah satu upaya untuk membangun kemandirian dan kewirauhaan warga. Berbagai skema pengelolaan desalinasi baik melalui BUMDes, koperasi, maupun kelembagaan lainnya dapat diterapkan untuk manajemen desalinasi berbasis masyarakat.
Di Jawa Tengah, pembangunan sistem desalinasi secara lebih optimal dimulai dari sebuah pilot project yang merupakan kolaborasi antara The Australian National University (ANU) dengan pendanaan dari KONEKSI (Knowledge Partnership Flatform Australia – Indonesia).
Fasilitas desalinasi ini menggunakan metode reverse osmosis berenergi surya. Sistem ini mampu menghasilkan 200.000 (dua ratus ribu) liter air minum aman setiap hari. Penggunakan energi surya dan pemanfaatan air sisa dari sistem desalinasi untuk budidaya udang dan ikan, menjadikan teknologi ini ramah lingkungan.
Pilot project desalinasi di Kampus Undip Teluk Awur, Jepara menggunakan energi surya dirancang untuk dapat menyediakan kebutuhan air minum dan masak bagi 10.000 keluarga di pesisir Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Untuk setiap gallon air yang dihasilkan, dibutuhkan biaya 1.000 rupiah.
Tentu harga ini jauh lebih murah dibandingkan dengan harga air minum dalam kemasan (AMDK) yang berkisar 15.500-18.000 rupiahmaupun air minum isi ulang (AMIU) yang menggunakan teknologi sederhana (berkisar 4.000-9.000 rupiah).
Kita patut bersyukur bahwa Gubernur Ahmad Luthfi dan Wakil Gubernur Taj Yasin memiliki komitmen untuk mengembangkan desalinasi dalam skala yang lebih terjangkau. Hanya berselang 8 hari setelah penandatanganan PKS dengan 44 perguruan tinggi, tepatnya tanggal 25 Maret 2025, unit desalinasi dengan kapasitas 4.000 liter per hari diresmikan oleh Gubernur Jateng Ahmad Luthfi dan langsung dapat digunakan oleh 250 KK penghuni Rusunawa Slamaran, Pekalongan.
Air hasil desalinasi dapat diminum langsung, digunakan memasak, dan kebutuhan harian lainnya.
Hingga bulan Oktober ini teknologi serupa kemudian dikembangkan oleh Pemerintah Provinsi bekerjasa dengan Undip di sejumlah daerah seperti Brebes, Kota Pekalongan, Demak, Pati, dan Rembang.
Di sejumlah wilayah tersebut mesin desalinasi dirancang dengan biaya relative terjangkau dengan nilai berkisar Rp 150 juta dengan kapasitas 200 galon per hari dan dapat dikelola oleh masyarakat setelah mendapatkan transfer pengetahuan oleh tim pendamping dari universitas.
Membangun sebuah unit desalinasi tidaklah sulit, tantangan besarnya adalah memastikan unit desalinasi yang telah dibangun dapat terus beroperasi dengan baik. Dalam hal ini, adanya lembaga pengeloga harus dipastikan sebelum unit desalinasi dibangun, apakah KPSPAMS (Kelompok Pengelola Sistem Penyediaan Air Minum dan Sanitasi), Badan Usaha Milik Desa (Bumdes), Pondok Pesantren, atau Lembaga lainnya.
Pengelolaan harus berorientasi pada layanan bagi masyarakat, mandiri sumberdaya manusia (SDM) dan finansial untuk operasional dan perawatan, serta dapat menumbuhkan potensi ekonomi baru dari sumber daya lokal.
Kebijakan Undip dalam memberi pendampingan teknis sekurang-kurangnya selama setahun sangat krusial untuk transfer pengetahuan dan ketrampilan, menumbuhkan kepercayaan dan partisipasi warga masyarakat, dan tercapai sasaran jangka panjang, yaitu “peningkatan aksesibilitas air minum aman dan kesehatan masyarakat”.
Untuk memberikan dampak, pengembangan desalinasi dilakukan dengan konsep pentahelix sejalan dengan semangat Gubernur-Wakil Gubernur yakni collaborative governance.
Kolaborasi ini melibatkan lima pilar utama: pertama, universitas yang berperan sebagai konseptor, sumber pengetahuan, melakukan penelitian dan pengembangan, membuat unit-unit percontohan di berbagai desa, dan pelatihan dan pendampingan.
Kedua, pemerintah melalui dukungan kebijakan, perizinan, dan pendanaan. Kita bersyukur bahwa komitmen dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sudah nampak nyata. Ke depan komitmen tersebut perlu untuk dikuatkan dilevel pemerintah kabupaten/kota. Dengan teknologi yang relatif murah sebagaimana dibangun Pemprov Jawa Tengah di Brebes, Kota Pekalongan, Demak, Rembang, dan Pati maka sangat mungkin untuk direpetisi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
Ketiga, Masyarakat Lokal sebagai elemen Komunitas menjadi pengguna sekaligus pengelola berkelanjutan.
Keempat, Badan Usaha (Bisnis) sebagai sumber pendanaan dan membantu untuk menghasilkan nilai tambah dan pertumbuhan ekonomi.
Kelima, Media dengan mendukung penyebaran informasi, memperkuat kebijakan publik yang positif, dan membangun citra perubahan sosial yang konstruktif. (*)