Jatengpress.com, Karanganyar– Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat bekerja sama dengan DPR RI menggelar sosialisasi bertema Membangun Ekosistem Perguruan Tinggi yang Adaptif dan Inklusif di Aula Kampus Universitas Surakarta (UNSA), Senin (22/12).
Anggota DPR RI Komisi X, Juliyatmono, menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang tengah dibahas pemerintah memberikan perhatian serius terhadap keberlangsungan perguruan tinggi swasta (PTS). Ia mengakui, saat ini banyak PTS menghadapi tantangan berat, bahkan tidak sedikit yang terancam berguguran akibat minimnya jumlah mahasiswa.

“Kami fasilitasi agar perguruan tinggi swasta terus berbenah. Presiden sangat konsern terhadap pendidikan tinggi. Dalam revisi Sisdiknas nanti, tidak ada pembedaan antara PTN dan PTS,” ujar Juliyatmono selaku keynote speaker di forum ini.
Menurutnya, kajian terkait revisi Sisdiknas telah melibatkan ratusan perguruan tinggi negeri maupun swasta. Salah satu fokus utama adalah memastikan kesejahteraan dosen dan guru swasta agar memiliki hak dan kesempatan yang setara.
Juliyatmono juga mengungkapkan pemerintah menyiapkan program Sekolah Garuda sebagai sekolah transformatif dengan dukungan anggaran mencapai Rp70 triliun. Program ini ditujukan untuk memperluas akses pendidikan, khususnya bagi masyarakat miskin pada kelompok desil 1 dan desil 2, agar dapat kembali mengenyam pendidikan dari jenjang TK, SD, SMP hingga SMA selama 13 tahun.
Dalam bidang riset, DPR RI mendorong pendekatan penelitian yang memberikan dampak langsung bagi masyarakat. Juliyatmono menyebutkan kemitraan dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terus diperkuat, termasuk pemanfaatan teknologi seperti drone untuk penanganan bencana di Sumatra Barat.
“Hasil riset perguruan tinggi, termasuk UNS, harus bisa membantu masyarakat. Kami terus bermitra dengan BRIN dan perguruan tinggi,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya dukungan pendanaan pendidikan. Ketergantungan pada Uang Kuliah Tunggal (UKT) dinilai memberatkan, sehingga pemerintah hadir melalui program Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah bagi mahasiswa kurang mampu, berbasis data hasil penelitian Badan Pusat Statistik (BPS).
Selain itu, pengaturan program studi juga menjadi perhatian agar perguruan tinggi memiliki akses yang adil dan relevan dengan kebutuhan pembangunan. Saat ini, tingkat partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia baru sekitar 10 persen, yang dinilai masih rendah.
“Sulit membangun demokrasi yang berkualitas jika akses pendidikan tinggi masih terbatas. Karena itu, kami bantu juga UNSA dengan peralatan pendukung,” ujarnya.
Juliyatmono menegaskan, penguatan pendidikan tinggi, riset, dan pengabdian masyarakat menjadi fondasi penting untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
Sementara itu revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dinilai menjadi momentum penting untuk mengubah orientasi riset perguruan tinggi agar lebih berdampak langsung bagi masyarakat. Selama ini, kebijakan penelitian di kampus kerap terjebak pada target administratif, terutama mengejar publikasi jurnal dan perolehan dana hibah.
Akademisi Universitas Diponegoro (Undip) Dr Ir H Bambang Dwiloka M S menilai pendekatan tersebut perlu diperbaiki. Penelitian tidak cukup hanya berhenti pada laporan dan terbitan ilmiah, tetapi harus menghasilkan solusi konkret atas persoalan sosial, ekonomi, dan pembangunan.
“Yang keempat adalah penelitian yang berdampak. Dulu kita seperti kejar-kejaran mendapatkan riset dan dana, tetapi dampaknya ke masyarakat sering kali belum terasa,” ujarnya.
Ia menegaskan, riset seharusnya tidak hanya diukur dari jumlah publikasi atau indeks jurnal, melainkan dari sejauh mana hasil penelitian dapat diimplementasikan dan memberi manfaat nyata.
“Penelitian itu bukan sekadar terbit di jurnal. Yang lebih penting adalah bagaimana hasil riset tersebut bisa digunakan, dirasakan, dan menjawab kebutuhan masyarakat,” katanya.
Menurutnya, revisi Sisdiknas harus menjadi dasar perubahan paradigma, baik bagi perguruan tinggi negeri maupun swasta, agar riset diarahkan pada penguatan daya saing daerah, peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta penyelesaian masalah riil di lapangan.
Akademisi tersebut juga mendorong agar kebijakan pendanaan riset ke depan lebih berpihak pada penelitian kolaboratif yang melibatkan pemerintah daerah, industri, dan masyarakat. Dengan demikian, riset tidak berhenti sebagai kewajiban akademik, tetapi menjadi bagian dari proses pembangunan nasional.
“Kalau risetnya berdampak, maka kampus hadir bukan hanya sebagai menara gading, tetapi sebagai mitra strategis pembangunan,” pungkasnya. (Abdul Alim)



