Jatengpress. com, Karanganyar— Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menegaskan sikap penolakan terhadap proyek pengembangan energi panas bumi (geothermal) di kawasan Gunung Lawu. Sikap tersebut disampaikan dalam forum diskusi lesehan bertema “Geothermal, Petaka Berkedok Potensi di Karanganyar” yang digelar di Gedung Dakwah Muhammadiyah Karanganyar, Kamis (7/11/2025).
Diskusi yang dihadiri oleh sejumlah aktivis lingkungan, akademisi, dan masyarakat pegiat konservasi itu mengupas berbagai aspek hukum, moral, dan teknis proyek geothermal di wilayah Jenawi, lereng Gunung Lawu.
Ketua PP Muhammadiyah, M. Busyro Muqoddas, menegaskan bahwa penolakan Muhammadiyah bukan sekadar sikap emosional, melainkan keputusan yang didasarkan pada kajian ilmiah dan nilai moral lingkungan.
“Sikap Muhammadiyah tegas menolak geothermal di Gunung Lawu. Tegas dengan pertimbangan yang sudah didasarkan pada kajian bersama, dan kajiannya pakai ilmu, itu pakai data. Problem, isu, dan agenda geothermal yang tadi sudah dijelaskan dengan baik, itu akan semakin merusak lingkungan dalam arti luas,” ujarnya.
Busyro menilai proyek geothermal berpotensi menghilangkan sumber air dan merusak ruang hidup warga sekitar.
“Jika pembangunan justru menghilangkan sumber air dan merusak ruang hidup warga, itu berarti bertentangan dengan konstitusi dan nilai moral lingkungan. Banyak proyek strategis nasional dijalankan tanpa riset dan partisipasi masyarakat. Akibatnya, kerusakan lingkungan sering dianggap sebagai biaya pembangunan. Ini harus dihentikan,” tegasnya.
Sementara itu, Beyrra Triasdian, Manajer Renewable Energy Trend Asia, menyoroti dampak teknis dan ekologis dari proyek geothermal di Jenawi yang dinilai berisiko tinggi terhadap kelestarian lingkungan.
“Wilayah Jenawi adalah lereng curam dan pusat sumber air utama. Jika eksplorasi dilakukan, risiko longsor dan hilangnya sumber air tidak bisa dihindari,” kata Beyrra.
Ia memaparkan, untuk kapasitas 86 megawatt (MW), proyek tersebut akan membutuhkan air dalam jumlah sangat besar.
“Kebutuhan air diperkirakan mencapai hampir 16 juta liter per hari. Angka itu setara dengan kebutuhan air 90 juta warga per harinya,” ungkapnya.
Dari kalangan aktivis lokal, Aan Shopuanudin dari komunitas Jaga Lawu menegaskan komitmen mereka untuk terus menjaga kelestarian Gunung Lawu sebagai sumber kehidupan masyarakat.
“Kami bersama teman-teman Jaga Lawu, LHKP, dan PP Muhammadiyah, mudah-mudahan ghirah kami ini adalah azam kami bagaimana merawat bumi ini,” tuturnya.
Aan menambahkan, Gunung Lawu memiliki makna filosofis dan ekologis penting bagi warga Karanganyar.
“Gunung Lawu adalah filosofi gentongnya air dan sumber kehidupan bagi Kabupaten Karanganyar. Ini betul-betul menjadi jihad kami, bagaimana fikih lingkungan ini akan kami jalankan sebaik-baiknya,” ujarnya.
Diskusi tersebut menghasilkan kesepakatan moral untuk memperkuat advokasi penolakan terhadap proyek geothermal di Gunung Lawu serta menyerukan perlunya kajian menyeluruh dan keterlibatan masyarakat dalam setiap kebijakan pembangunan berbasis sumber daya alam. (Abdul Alim)





