Fashion Show Istri Nelayan, Menengok Rekognisi Warga Korban Genangan Rob di Desa Timbulsloko Sayung

Jatengpress.com, Demak – Sejumlah perempuan istri nelayan berjalan melenggak-lenggok bak fotomodel.  Mereka mengenakan busana kebaya yang kompak dengan lingkungan sekitar, khas warga kampung nelayan. 

Namun bukan di catwalk atau panggung show, melainkan di jalan apung di tengah genangan banjir rob, perkampungan Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. 

Ya, pagi itu, Sabtu (15/3/2025) sejumlah istri nelayan warga Desa Timbulsloko turut dalam kegiatan peragaan busana ramah lingkungan bertajuk “Gerak 

Budaya dan Karya Ramah Lingkungan untuk Masa Depan Warga Pesisir menghadapi Krisis Iklim”. Mereka tak canggung meski peragaan busana dilakukan bersama-sama dengan model profesional dan model dari lembaga swadaya masyarakat (LSM). 

Kegiatan diadakan oleh Komunitas Empu Fesyen Berkelanjutan, bekerjasama dengan kelompok 

nelayan, khususnya nelayan perempuan yang tergabung dalam organisasi Puspita Bahari, Barapuan, 

YLBHI-LBH Semarang, dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), serta didukung PPNI dan LBH, dalam rangka memperingati Hari Perempuan Dunia. 

Leya Cattleya, Pegiat Komunitas Empu Fesyen Berkelanjutan yang merupakan koordinator kegiatan tersebut mengungkapkan, kegiatan sengaja diadakan di sebuah desa yang telah tenggelam oleh rob, namun masih ditempati oleh ratusan warga, dengan maksud dan tujuan untuk merekognisi (mengalihkan atau menggantikan) upaya dan daya resiliensi warga dalam melakukan adaptasi krisis iklim, dari perempuan petani menjadi perempuan nelayan, sebagai dampak genangan banjir rob.

Peragaan busana menampilkan 20 karya Komunitas EMPU dan karya fashion ramah lingkungan dari masyarakat pesisir Omah Petruk. 

“Fashion yang ramah lingkungan mewakili harapan warga Timbulsloko akan kehidupan yang lebih baik dan upaya bersama untuk memitigasi krisis iklim,” kata Leya.  

Peragaan busana menjadi sangat unik dan menarik, karena dilakukan di jalan panggung papan yang menjadi jalan utama di desa tersebut. 

Desa Timbulsoko sendiri awalnya merupakan desa daratan sebagaimana perkampungan lainnya. Mayoritas warganya hidup bercocok tanam di sawah, desa yang bisa diakses dengan mobil.  

Namun sejak tahun 2019 desa ini mulai tenggelam oleh banjir rob, dan terendam sampai sekarang. 

Dari awal sebanyak 3.000 lebih warga, kini masih ada sekitar 200 jiwa atau 80 keluarga yang bertahan, meski sejumlah perjuangan harus mereka lakukan. 

Warga yang bertahan harus beradaptasi, merekognisi  kehidupan dari warga petani menjadi warga nelayan. Mereka hidup di rumah-rumah yang terendam. Untuk mobilitas warga, dibangun jalan panggung terbuat dari papan kayu dengan tiang penyangga dari kayu usuk dan bambu. 

Sudah tidak ada lagi jalur darat untuk masuk ke desa ini. Hanya jalan setapak di antara hamparan genangan air banjir rob menyerupai lautan. 

Sampai di gerbang desa, jalan setapak sudah habis. Sepeda motor harus dititipkan di kantong parkir yang disediakan oleh warga setempat, lantas warga melanjutkan berjalan kaki melalui jalan apung kayu untuk pulang ke rumah. Penitipan sepeda motor bertarif Rp 2.000 untuk setiap kali parkir.  

Jika tidak melalui jalur setapak menggunakan sepeda motor, cara lain adalah dengan baik perahu mesin tempel untuk bisa masuk ke desa tersebut. 

Ditanya apakah fashion show di desa yang tenggelam ini adalah sebuah sindiran, Leya mengatakan bukan.  

“Ini peringatan Hari Perempuan Internasional dimana perempuan sangat terdampak oleh krisis iklim. 

Misalnya terendam seperti ini ibu-ibu mendapat masalah lebih berat. Masalah reproduksi, masalah kulit, dan yang punya anak, anak-anak tidak bisa lagi bermain disini, tapi jauh keluar desa. Jadi kita merekognisi agar ibu ibu bertahan disini,” papar Leya.  

Adapun mereka masih bertahan di desa tersebut, Leya berpendapat tentu bukan kemauan mereka. 

“Karena memang berada disini maka mereka mau tidak mau bertahan disini. Solidaritas membuat mereka bertahan sampai kapan air terus menerus naik,” kata Leya. 

Keseluruhan fashion show sendiri berlangsung menarik. Sebanyak 22 model dari unsur istri nelayan, LSM, dan model profesional memperagakan busana karya artisan dari jejaring Empu. 

Busana yang dikenakan merupakan busana yang dihasilkan dari tekstil serat alam yang menggunakan pewarna alam antara lain Patanning.co (Sumba Timur), Zie Batik (Semarang), Moncer 

Art (Sragen), Mlati Wangi Semarang, Rhabag Semarang, YC Aurart (Jakarta), Lucy Chan, Swarna Bumi

Ecoprint, Nganjuk, Susi Shibori, Sora Shibori, Nine Penenun Lombok Timur, Collabox Creative Hub Semarang, dan karya artisan Omah Petruk, Jepara. 

Selain peragaan busana, acara juga diramaikan tarian perempuan pesisir, yang menggambarkan perjuangan kaum perempuan pesisir yang awalnya bermatapencaharian bertani, berubah adaptasi menjaidbearga nelayan. (Cip)