Jatengpress.com, Karanganyar– Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) bersama DPR RI menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema Transformasi Menuju Pendidikan Tinggi yang Berdampak dan Berkelanjutan di Aula Kampus Universitas Tunas Pembangunan (UTP) Surakarta, Senin (22/12). Forum ini menjadi ruang dialog strategis untuk membahas arah kebijakan pendidikan tinggi, termasuk isu pemerataan dan keberlanjutan antara perguruan tinggi negeri dan swasta.
Anggota Komisi X DPR RI, Juliyatmono, menegaskan bahwa transformasi pendidikan tinggi harus diarahkan pada kolaborasi riset yang aplikatif dan memberi nilai tambah bagi masyarakat. Menurutnya, perguruan tinggi tidak cukup hanya menghasilkan lulusan siap kerja, tetapi juga harus mampu melahirkan pencipta lapangan kerja.
“Transformasi itu harus berbasis riset dan diaplikasikan ke masyarakat. Kualitas lulusan dibuktikan dari kemampuannya menaklukkan tantangan dan memberi solusi,” ujar Juliyatmono.
Ia juga menekankan pentingnya keadilan dalam pembiayaan pendidikan tinggi. Ke depan, pemerintah didorong untuk tidak lagi membedakan antara perguruan tinggi negeri dan swasta.
“Siapa pun yang sekolah, baik di negeri maupun swasta, harus mendapat dukungan pembiayaan yang setara. Tidak boleh ada lagi dikotomi negeri dan swasta, semuanya adalah anak bangsa,” tegasnya.
Sementara itu, perwakilan LLDIKTI Wilayah VI, Sri Haryono, menyampaikan bahwa kebijakan kampus berdampak berlandaskan pada Merdeka Belajar Kampus Merdeka, namun tidak hanya dimaknai sebagai peningkatan mutu internal perguruan tinggi.
“Kampus berdampak itu bukan sekadar naiknya publikasi atau jabatan fungsional dosen, tetapi sejauh mana riset benar-benar diterapkan di industri, masyarakat, dan pemerintah,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa peran perguruan tinggi kini juga berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi. Hal itu tercermin dari sejumlah indikator kinerja, seperti masa tunggu lulusan, fleksibilitas belajar di luar program studi, riset berdampak, hingga kemampuan perguruan tinggi memperoleh pendapatan di luar UKT melalui proyek dosen dan kekhasan institusi.
Dalam kesempatan yang sama, Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta, Prof Dr Harun Joko Prayitno, MHum, menyoroti ketimpangan ekosistem pendidikan tinggi yang semakin dirasakan perguruan tinggi swasta, khususnya di wilayah LLDIKTI VI yang memiliki 217 perguruan tinggi swasta.
“Fenomena perguruan tinggi negeri yang menerima mahasiswa secara masif dan cenderung tidak terkendali telah merusak keseimbangan ekosistem pendidikan tinggi,” kata Prof. Harun.
Ia menilai ketimpangan tersebut diperparah dengan perbedaan kebijakan perizinan program studi. Perguruan tinggi negeri dinilai lebih mudah membuka prodi baru, sementara perguruan tinggi swasta harus menempuh proses panjang hingga delapan atau sembilan tahun.
“Pemerintah sudah saatnya menunjukkan keberpihakan nyata kepada perguruan tinggi swasta. Jangan biarkan negeri kebablasan dalam menerima mahasiswa, sementara swasta berjuang menjaga mutu dengan segala keterbatasan,” tegasnya.
Sebagai bentuk komitmen terhadap kualitas, Prof. Harun menyebutkan bahwa UMS mengalokasikan sekitar 16 persen dari total anggaran satu triliun rupiah untuk belanja riset.
“Swasta tidak perlu diragukan komitmennya. Kami berinvestasi besar pada riset demi menjaga marwah akademik, tetapi kami juga butuh kebijakan yang adil agar kompetisi menjadi sehat dan saling menguatkan,” ujarnya.
FGD tersebut diharapkan dapat menjadi pijakan bersama bagi pemerintah, DPR RI, dan perguruan tinggi dalam menyelaraskan kebijakan pendidikan tinggi yang inklusif, berkualitas, berkeadilan, dan berkelanjutan. (Abdul Alim)






