Hoax Berseliweran di Medsos, Media Massa Bertugas Jaga Kejujuran dan Edukasi Masyarakat

Jatengpress.com, Semarang – Tugas media massa adalah menyajikan informasi yang faktual, positif, dan bertanggung jawab.

Informasi yang diberikan oleh media massa juga harus edukatif dan jujur.

Posisi pers yang demikian, akan mampu menangkal maraknya konten-konten negatif dan berita hoax yang marak di era digital ini.

Kepala Dinas Kominfo Provinsi Jateng, Agung Hariyadi mengungkapkan hal tersebut pada acara Forum Koordinasi dan Sinkronnisasi Penguatan Kebijakan Pembangunan Media Massa yang Bertanggung Jawab Wdukatif, Jujur, Obyektif, dan Sehat Industri (Media Bejo’s), Kamis 13/11/2025).

Acara diselenggarakan oleh Kementerian Koordinasi Politik dan Kemanan (Kemenkopolkam), di Hotel Gumaya.

Pers, lanjut Agung, hendaknya tjdak hanya untuk kepentingan sendiri tapi juga memberikan informasi berkelas kepada masyarakat.

“Terlebih saat ini marak hoax berseliweran. Tahun ini saja ada 50 berita hoax yang rata-rata membajak nomor pejabat (di Pemprov Jateng). Nomor nya sekda berapa kali dipakai orang tidak bertanggung jawab. Pers harus mampu mampu meluruskan berita-berita hoax, peran media yg bertanggung jawab, edukatif dan jujur,” ujar Agung.

Forum diskusi Media Bejo’s menghadirkan sejumlah narasumber, yaitu Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Amin Shabana, anggota Dewan Pers Muhammad Jazuli, serta Perencana Madya, Direktorat IKPD Kementerian PPN/Bappenas, Yunes Herawati.

Namun, sebagai media yang memiliki fungsi edukasi kepada masyarakat, menjamurnya media massa justru masih memiliki persoalan dan tantangan tersendiri.

Muhammad Jazuli menyebut, jumlah media penyiaran di skala lini terus bertebaran entah televisi, radio, media online dan terbaru adalah platform digital. Dan fenomena isi penyiarannya pun ternyata begitu massif membawa efek bagi masyarakat.

Dewan Pers menyebut jumlah pengaduan yang dilayangkan masyarakat, disebut naik seratus persen ketimbang tahun lalu.

“Lebih dari 600 aduan masuk bulan ini setelah kita buka saluran.Celakanya sebanyak 1077 kasus datang terbanyak dari online.Ini menunjukkan literasi edukasi sangat minim, ” sebut Muhamad Jazuli.

Dewan Pers menyebut menjamurnya media saat ini tidak diimbangi dengan kompetensi media, sertifikasi media dan pekerja media itu sendiri.

Hal ini juga dibenarkan Yunes Herawati, selaku Perencana Madya Direktorat IKPD Kementerian PPN.

Yunes Herawati mengungkapkan, dari ribuan media yang terafiliasi tidak semuanya berkontribusi secara baik , mereka tidak konsisten dengan kode etik jurnalistik.

“Kami mendorong adanya revisi UU 32 Tahun 2002 tentang Pers, dimana perlu dilakukan pengaturan platform digital, serta penguatan lembaga. Dan terakhir kemungkinan adanya pemberian soft loan atau berbentuk funding dari insentif pajak masyarakat,” ujar Yunes.

Bappenas lanjut Yunes, mendorong agar KPI sebagai pengawas penyiaran tidak hanya fokus kepada media arus utama saja, tapi juga media berbasis komunitas masyarakat lokal,” jelas pihaknya.

Langkah yang diambil Bappenas ini mendapatkan dukungan, dimana artinya harus serius dilakukan.

Sementara itu, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Amin Shabana mengungkapkan, masyarakat berhak mengajukan konten yang dianggap kurang sesuai kepada KPI.

Pengaduan kepada KPI melalui sejumlah platform media sosial, masuk setiap hari.

“Tetapi masyarakat kalau menyampaikan pengaduan harus disertai bukti,” ujar dia.

Namun ketika media penyiaran televisi dan radio diawasi oleh KPI, plafon digital podcast, YouTube, serta berbagai platform media sosial lainnya, justru membanjir tanpa kontrol uang memadai.

“Industri di ruang digital maju lebih pesat. Tetapi ketika tidak ada rgulasi yang seimbang dalam pengawasan, itulah yang menjadi masalah bagi kita,” ujar dia.

Selain ketiga narasumber, forum diskusi juga menghadirkan sejumlah kalangan birokrasi.

Sekretaris Deputi bidang Koordinasi, Komunikasi dan Informasi Kemenkopolkam, Arief Syahril yang hadir pada forum tersebut berujar, media massa adalah penjaga nurani publik dan benteng moral bangsa, yang memiliki peran membantu menjaga stabilitas politik, sosial dan keamanan nasional.

Perkembangan Teknologi Digital memgaburkan batas jurnalisme profesional dengan konten media sosial.

“Perubahan informasi akibat perkembangan teknologi digital telah mengaburkan batas antara jurnalisme profesional dan konten yang tidak terverifikasi. Untuk itu, jurnalisme profesional perlu memperkuat identitasnya sebagai jurnalisme yang bertanggung jawab sesuai kaidah jurnalistik dan seusia kode etik jurnalistik,” ujar dia.

Lingkup jurnalisme profesional dengan konten media sosial pun memiliki payung hukum yang berbeda.

Produk jurnalistik dipayungi oleh Undang Undang Pers, sedangkan konten media sosial dipagari oleh Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). (CIP)