Jatengpress. com, Solo-Cara konvensional dalam menjual produk batik perlu dimodernisasi supaya mampu menghadapi gempuran pasar global. Untuk itulah para akademisi menggali permasalahan dan potensi bisnis masa depan melalui diskusi dan meneliti para pelaku usaha dan perajin batik.
Salah satunya menggelar focus group discussion bertema ‘Pengembangan Model Pengusaha Batik dalam Perspektif Dynamic Capability’ di Wisma Batari Surakarta. FGD dalam rangkaian Peringatan Hari Koperasi ke-78 ini menghadirkan para akademisi dari Universitas Terbuka dan Universitas Diponegoro Semarang. Berbagi pengalaman dan diskusi berlangsung di Laweyan Surakarta pada 19-20 Juli 2025.
Pengajar di Prodi Administrasi Bisnis FHISIP UT Dwi Rahmawati, S.E., M.A.B mengatakan proyek pengabdian masyarakatnya ini mengundang responden dari pengusaha batik Koperasi Batari.
“Yang dibahas tentang bagaimana pengusaha batik, khususnya Koperasi Batik Batari mengembangkan bisnisnya dalam mengelola sumber daya pribadi dan organisasi di kondisi yang dinamis. Tantangan sekarang seperti gempuran produk serupa dari China. Bagaimana membawa batik Indonesia terutama batik tulis Solo tetap eksis dan menjual,” katanya, Senin (28/7/2025).
Produk luar dengan harga terjangkau serta kualitas bersaing, harus dihadapi. Jika tetap mengandalkan cara konvensional dalam memproduksi serta memasarkan, dikhawatirkan para perajin batik tradisional bakal terus ketinggalan.
“Dari diskusi ini, diharapkan para pelaku usaha batik menyesuaika perkembangan pasar dan preverensi sekarang. Anak muda yang kiblat fashionnya ke barat, agar tertarik menggunakan batik,” katanya.
Para akademisi menggali informasi langsung dari pelaku usaha dan perajin batik tulis maupun printing, kemudian meramunya bermodal keilmuan masing-masing untuk menjadi bahan rekomendasi ke dunia usaha dan pemerintah selaku pemegang kebijakan memproteksi warisan budaya batik.
Dosen FISIP UNDIP Dr. Reni Shinta Dewi, S.Sos, M.Si mengakui pasar batik tulis sulit merambah kalangan luas. Sebab, produk tersebut dipakai oleh kalangan tertentu di bukan sembarang acara. Produksi massalnya pun terhambat banyak faktor.
“Batik tulis itu mahal karena proses produksinya rumit dan lama. Dipakainya juga di acara tertentu. Pemiliknya ngeman kalau batik tulis dipakai di sembarang acara. Maka, menghadapi era pasar global, perajin atau produsen batik tulis harus belajar menentukan target pasar dan posisioningnya,” katanya.
Keberlanjutan batik tulis tak boleh berhenti. Apalagi di tengah ancaman negara lain yang mengintai dan mengklaim batik. Kondisi sekarang, perajin terpaksa melayani semua segmen tergantung pesanan. Termasuk meladeni desain kekinian agar masuk selera anak muda.
Reni mengatakan diskusi dengan akademisi dan pelaku usaha batik masih merupakan identifikasi persoalan. Mereka menargetkan digelar pameran batik tulis dan membuat jurnal terkait hal itu.
“Kami ingin membuat jurnal dan pameran batik. Catatan terkait batik lasem, batik pekalongan dan batik Solo. Memiliki karakteristik masing-masing berikut kondisi saat ini,” katanya.
Ketua Koperasi Batari Surakarta Ir H Nawan Basuki berharap FGP pada 19-20 Juli lalu berjalan baik dan menghasilkan solusi atau usulan mengembangkan batik di Solo. Ia melihat diskusi tentang batik oleh para akademisi lebih spesifik dan menatap masa depan perkembangan batik.
“Kita tahu batik enggak bisa dipisahkan dari Masyarakat Solo. Mudah-mudahan dengan FGD memberi manfaat positif dunia perbatikan,” katanya. (Abdul Alim)