Jatengpress.com, Semarang – Gugatan Perdata warga perumahan Permata Puri Ngaliyan Semarang, Ahmad Subaidi dan Christophorus Alun terhadap pihak pengembang, memasuki babak mediasi di pengadilan. Warga mengajukan gugatan ganti rugi Rp 5 Miliar terhadap pengembang, PT PP Pro.
Kasus lahan ambles di Perumahan Permata Puri Semarang, menurut Okky Nurindra Wicaksono SH
selaku kuasa hukum dua warga yang mengajukan gugatan tersebut, telah bergulir sejak hampir setahun, namun menurut Okky, belum ada itikad penyelesaian yang memuaskan dari pihak pengembang.
Hingga akhirnya kliennya mengajukan gugatan terhadap pengembang, melalui Pengadilan Negeri Semarang sebesar Rp 5 Miliar.
Saat datang ke Pengadilan Negeri Semarang pada Selasa (24/12), Ahmad Subaidi dan Christophorus Alun bersama keluarga, didampingi Okky Nurindra Wicaksono SH. Okky menyampaikan bahwa mediasi yang dipimpin hakim mediator telah dijadwalkan ulang hingga 7 Januari 2025 di Pengadilan Negeri Semarang.
Okky menjelaskan bahwa kasus rumah ambles di Permata Puri bisa sampai di meja hijau karena tidak ada itikad baik dari PP untuk mengganti kerugian dari klien.
“Dari pihak pengembang, BUMN yakni PT PP, sampai saat ini tidak mengambil langkah tanggung jawab untuk mengganti kerugian dari klien kami, Ahmad Subaidi dan Christopher Alun,” tegas Okky.
Okky juga menjelaskan adanya dugaan pelanggaran hukum terkait pembangunan perumahan di atas tanah yang ternyata memiliki aliran sungai di bawahnya. Menurutnya, kondisi tersebut menjadi akar permasalahan rumah yang ambles dan kini menimbulkan kerugian besar bagi korban.
“Kita ajukan ganti rugi sebesar Rp 5 miliar, jumlah itu wajar karena didasarkan pada penilaian pihak independen. Selain itu, kami juga telah melaporkan dugaan tindak pidana korupsi ini ke Kejaksaan Negeri Semarang. Dugaan kami, sungai yang merupakan aset negara justru disertifikatkan dan dijual oleh PT PP,” ujarnya.
Ahmad Subaidi, salah satu korban mengungkapkan dampak besar yang ia rasakan sejak rumahnya ambles pada Maret 2024. Hingga kini ia harus mengontrak rumah dengan biaya sendiri. Ahmad juga merasa tidak mendapatkan empati dari pihak pengembang.
“Sudah hampir setahun berlalu, dan tidak ada langkah nyata dari mereka untuk menyelesaikan masalah ini. Saya bahkan tidak bisa berdagang roti lagi dan harus menyelamatkan keluarga,” ungkap Ahmad.
Ahmad Subaidi juga menceritakan trauma yang dialami keluarganya, terutama anak-anak, akibat peristiwa tersebut. Dewi, Istrinya, yang biasanya berjualan, juga kehilangan mata pencaharian karena tempat tinggal mereka kini tidak layak huni.
“Saya juga tidak bisa produksi, apalagi anak-anak. Ketika kejadian itu jadi trauma dan keluarga juga jadi trauma, jadi rumah yang ambles tersebut jadi jarang kami datangi,” ungkap Dewi.
Ahmad meminta agar persoalan ganti rugi ini mendapatkan ganti rugi yang layak dan cepat, mengingat rumah diatas sungai melanggar undang-undang dan tidak pantas diperjualbelikan.
“Sebagai korban, harapan kami sederhana, ganti rugi yang layak dan penyelesaian yang cepat. Rumah di atas sungai tentu tidak seharusnya diperjualbelikan,” ujar dia.
Selain PT Pembangunan Perumahan (Persero) sebagai tergugat 1 dan PT PP Pro sebagai pihak tergugat 2, kedua warga tersebut juga menyertakan pihak lain sebagai pihak turut tergugat, yaitu turut tergugat 1 adalah Balai Besar Wilayah Sungai Pemali Juana, turut tergugat 2 Dirjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR, turut tergugat 3, turut tergugat 4 Kementerian BUMN, dan turut tergugat 5 adalah Walikota Semarang.
Khusus Akhmad Subaidi turut memasukkan nama Notaris Tuti Wardani sebagai turut tergugat 6, karena ketika proses jual beli dari pengembang didaftarkan di notaris tersebut. Sedangkan Christophorus Alun tidak memasukkan notaris tersebut ke gugatan, karena rumah yang dia tempati merupakan hibah dari orangtuanya.
Adapun nilai gugatan yang diajukan baik oleh Akhmad Subaidi maupun Christophorus Alun, masing-masing sebesar Rp 5 Miliar. (Cip)